Problematika Petani Sawit 'Meruak' dalam Diskusi Publik yang Ditaja JMSI Riau
Jumat, 12 Juli 2024
•
9 Menit baca

PEKANBARU, riaueditor.com - Berbagai problema petani kelapa sawit di provinsi kembali dikupas dalam diskusi publik yang ditaja Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau bekerjasama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), bertempat di Mabest Kopi, jalan Rambutan, Pekanbaru, Selasa (27/12/2022).
Diskusi publik akhir tahun 2022 tersebut menghadirkan 4 narasumber yang menginspiratif, yakni Vera Virgianti, S.Hut, MM dari Dinas Perkebunan Riau, Fauzi Marasabessy SH,MH mewakili Kejaksaan Tinggi Riau, Sekjen DPP Apkasindo Rino Afrino, ST,MT, serta Dr, Ir Saipul Bahri, M.Ec dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri (UIR).
Sebagai daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, Provinsi Riau belum mendapatkan manfaat positif yang signifikan. Selain dana bagi hasil (DBH) kelapa sawit yang belum jelas, implementasi peremajaan sawit rakyat (PSR) pun rumitnya bukan main.
Hal tersebut diungkap Vera Virgianti yang juga Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Vera menyebut realisasi PSR tahun 2022 di Riau nol persen.
"Tahun 2022 untuk pertama kalinya Riau tidak mendapatkan Dana PSR. Ini karena petani harus mengikuti persyaratan cukup banyak dan menyulitkan," kata Vera.
Ia menjelaskan, program PSR yang sudah digulirkan sejak tahun 2016 belum dilakukan maksimal di Riau. Rata-rata realisasi luasan yang di-replanting hanya 26 ribu hektar atau sekitar 30 persen dari alokasi setiap tahunnya.
Terlebih lagi, sejak diberlakukannya aturan PSR yang baru melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, pengurusan PSR menjadi lebih rumit.
Rumitnya realisasi PSR disebabkan regulasi yang rumit dengan sejumlah persyaratan yang diatur dalam Pasal 15 hingga Pasal 50 Peraturan Menteri Pertanian tersebut. Dimana ada 28 persyaratan dan tahapan yang harus dipersiapkan petani untuk pengajuan PSR.
Salah satu kesulitan ini karena syarat yang harus diurus melewati antar lintas sektoral seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK dan instansi lainnya.
Vera menilai, sulitnya akses terhadap PSR ini menambah deretan luka Riau. Sebagai produsen hampir 34 persen CPO nasional dengan 187 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang tersebar, Riau malah tak dianggap oleh pemerintah pusat.
Ia mengatakan kucuran dana yang didapat Riau lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) amat minim dibandingkan dengan cuan dari bisnis kelapa sawit.
"Perkebunan sawit yang sangat luas di Riau, tapi uang kita tidak kembali ke Riau dan tersimpan di pusat. Hanya sekitar 1,6 persen saja yang kita peroleh ke daerah yang angkanya sekitar Rp 1 triliunan, sementara dana di BPDPKS itu Rp 116 triliun," beber Vera.
Ia menambahkan, beragam fasilitas berupa sarana prasarana, beasiswa dan pelatihan dari BPDPKS amat sedikit diterima oleh Riau. Padahal, pembenahan sektor kelapa sawit di Bumi Lancang Kuning sangat mendesak.
"Belum lagi dampak lingkungan dan kerusakan jalan sangat terasa dialami Riau. Tapi, kita tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki itu semua. Karena kita tidak punya dana," tutup Vera.
Regulasi Kendala Perizinan PSR
Sekjen DPP Apkasindo Rino Afrino, ST,MT juga mempertanyakan dana peremajaan sawit rakyat (PSR) yang tak kunjung dikucurkan pemerintah pusat. Sedangkan setiap tahunnya ada sekitar 300 ribu ha lebih kebun rakyat yang harus ditumbang karena usia tanaman yang sudah mencapai 30 tahun.
Regulasi kata Rino menjadi kendala perizinan PSR. Untuk mendapatkan PSR mesti ada surat bebas gambut.
Sekjen Apkasindo itu menyebut bahwa semua golongan di Riau itu berkebun, baik itu PNS, Jaksa, Polisi, dll, jumlahnya bahkan lebih banyak dari swasta.
"Maka di mana tersumbatnya, jika regulasi menjadi penghalang regulasi tersebut mendesak untuk direvisi," lugasnya.
Akibatnya jadi banyak plasma ditolak karna masuk kawasan hutan. Bahkan paradigma itu juga masuk ke perbankan karena kawasan hutan, padahal HPK.
"Keberpihakan KLHK terhadap program strategis peremajaan sawit rakyat tidak ada sama sekali, jadi ironis. 1,8 juta hektar sawit rakyat di Riau dalam kawasan hutan," ungkap Rino.
Celakanya lagi sambung Rino, kurun 2021 hingga 2022 harga pupuk justru naik 100 persen. Ini menambah derita petani sawit.
"Ya kalau petaninya memiliki ternak sapi atau kambing, maka kotorannya bisa menggantikan pupuk. Namun tak sedikit petani tergiur dengan pupuk murah yang ternyata palsu," tutur Rino.
Rino menyinggung program peremajaan sawit rakyat (replanting) merupakan program prioritas nasional yang menjadi target Presiden Jokowi.
"Dan selama pandemi covid-19, salah satu yang mampu bertahan adalah para petani sawit," katanya.
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Riau yang diwakili Fauzi Marasabessy SH,MH menyebut pihak Kejaksaan konsen mendorong perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang ada di Riau.
"Kita bukan menghambat investasi, namun mendorong perbaikan tata kelolanya, dan Kejati Riau juga menyurati Kejagung guna merevisi Kementan tersebut. Hirarkinya perkebunan ada di pasal 3 UU Perkebunan, tujuannya utamanya bagaimana kesejahteraan masyarakat bisa tercapai, dan seterusnya," katanya.
Problematika Petani Sawit di Riau
Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia menyumbang hingga 40 persen dari total produksi minyak nabati dunia. Sumbangan produksi yang besar tersebut terjadi karena produktivitas CPO yang tinggi.
Demikian disampaikan Sekjen Apkasindo Rino Afrino mengutip apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2021, Rabu (1/12).
Menurut catatannya, produksi 1 ton CPO hanya membutuhkan lahan 0,3 hektare (ha). Sementara, minyak nabati lain, misal minyak kedelai membutuhkan lahan 2,2 ha.
Karena serba guna, minyak nabati sawit dibutuhkan oleh banyak manusia di bumi. Sebagai wilayah sub tropis provinsi Riau diuntungkan komoditi sawit bisa tumbuh subur. Namun begitu, apakah rakyatnya sudah sejahtera?
Indeks kesejahteraan petani sawit juga mendatangkan multifier efek ke usaha lainnya, termasuk tumbuh suburnya cafe-cafe di setiap kota yang ada di Riau.
"Kita perlu jurnalis untuk menyuarakan kelebihan sawit. Dan kita harus bersinergi," ungkap Sekjen DPP Apkasindo ini.
Rino juga membeberkan proses penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Ia menyayangkan hanya 15 perusahaan yang duduk saat penetapan harga setiap hari selasa itu, padahal persoalan harga TBS erat hubungannya dengan perusahaan sawit.
"Dalam rapat tersebut ada unsur petani, pemerintah, perusahaan, dan Jaksa. Kenapa cuma 15 perusahaan, sementara ada 287 perusahaan yang bergerak di sektor kelapa sawit di Riau ini," tukas Rino.
Ketetapan harga TBS katanya merujuk harga Internasional, "Namun ada tangganya, yang bisa turun naik, tidak serta merta turun. Nah proses penetapan harga ini perlu dikawal dengan baik, jangan merugikan petani sawit," katanya.
"Presiden bilang 2023 gelap, jangan kita yang sudah terang jadi ikut gelap. Maka bagaimana harga sawit tidak merugikan petani, dan petani tidak bisa menahan buah lebih dari dua hari," tambahnya.
Sekjen DPP Apkasindo Dr Rino Afrino ST MT mengatakan kalau pihaknya akan terus memperjuangkan nasib petani sawit, mulai dari jaminan bibit sawit sampai dengan memperjuangkan PSR serta harga TBS milik petani.
"Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 77 Tahun 2020 sejatinya menjamin harga tandan buah segar atau TBS kelapa sawit produksi swadaya agar mendapatkan harga jual yang wajar, namun sampai saat ini masih banyak persoalan petani sawit yang dirugikan oleh pihak korporasi," ujar Rino.
Menyambung pernyataan Rino, Fauzi Marasabessy SH,MH yang menjabat Koordinator pada Kejaksaan Tinggi Riau berharap sawit untuk tidak mengulang sejarah, seperti rempah-rempah dengan VOC nya, "Nah demikian juga sawit yang kini menjadi komoditi primadona, jangan pula menjadi bencana suatu hari nanti," katanya.
Kejaksaan Tinggi Riau amat konsen dengan konflik lahan yang terjadi dan penetapan harga TBS sawit.
"Kita akan terus mengawasi proses penetapan harga sawit, dengan memperhatikan bagaimana perbaikan tata kelolanya, dan pengusaha memberikan data yang benar," ulasnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan citra satelit Apkasindo menghitung ada sekitar 4 juta hektar perkebunan sawit di Riau, sedangkan berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Riau sendiri ada 3 juta hektar. "Data ini agar disinkronkan," katanya.
Masalah lain juga datang dari kampanye negatif LSM yang menuding kebun sawit penyumbang deforestasi, karhutla, hingga gugatan Uni Eropa di WTO.
"Ada dua provinsi di Indonesia yang menjadi perhatian Kejaksaan Agung terkait konflik agraria sengketa pertanahan. Sumber konfliknya perkebun sawit di provinsi Riau dan pertambangan batubara di Kalimantan Timur," ujarnya.
Ia juga menilai bahwa Permentan 1 tahun 2018, faktor pengurang harga TBS yang 100 persen ditumpang ke petani, "Contohnya biaya pemasaran, biaya tanki timbun, petani seolah-olah berhadapan dengan pemegang saham. Oleh karenanya kita menyurati Kejagung untuk merevisi Kementan tersebut," tandasnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau dampak kenaikan harga sawit terhadap petani, indeks nilai tukar petani ikut naik 200, dan ketika harga sawit turun nilai tukar petani juga melandai ke angka 57.
Hal ini diungkapkan Dr, Ir Saipul Bahri, M.Ec, dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau (UIR), ia menyimpulkan bahwa petani sawit di Riau tidak bisa menentu harga, juga produksi. Petani selalu menyerah pada kondisi yang ada, karena tidak bisa sebagai penentu, alias playmaker, katanya.
"Tapi kita tidak bisa menafikan, jika sawit memang membawa kesejahteraan petani," tuturnya.
Menurutnya yang bisa dilakukan petani dengan kondisi rantai pasok tersebut adalah bagaimana memperbaiki produktifitasnya.
"Bandingkan dengan perusahaan, produksi petani 2-3 ton per bulan, sedangkan perusahaan 4,5 ton. Petani banyak tidak paham input-input produksi, antara lain penggunaan pupuk, dan kesulitan mendapatkan bibit unggul," ujarnya.
"Ini problem petani swadaya kita, petani terpukul. Bagaimana memperbaiki produktifitas kebun petani agar meningkat, dan cost produksi menurun, maka DBH Sawit harus kita perjuangkan," tandas Saipul.
Tak sampai di situ, problema lainnya yang dihadapi petani sawit di lapangan juga persoalan pemotongan harga TBS di pabrik yang mencapai 7-12 persen, seperti yang terjadi di PKS PT Berlian Inti Mekar di Inhu. Hal ini diungkapkan Zulpen pada saat sesi tanya jawab.
Menurut Zulpen PKS tersebut tak pantas melakukan pemotongan harga karena sudah mendapatkan keuntungan lain dari cangkang, kernel, viber.
"Ini tak masuk akal, PKS sudah mendapat manfaat dari semua ampas sawit, jadi tak semestinya ada alasan pemotongan sana sini," katanya.
Zulpen juga menyinggung Pabrik juga memberlakukan harga papan untuk TBS yang berasal dari kabupaten Indragiri hilir, "harganya dipatok di bawah harga Inhu oleh PKS BIM," kata Zulpen dan berharap Kejaksaan menemukan tindak pidananya karena terjadi permainan harga di PKS tersebut.
Menjawab ini, Koordinator Kejati Riau Fauzy Marasabesy SH MH menjelaskan, berdasarkan instruksi Kejaksaan agung, Kejati Riau sudah membentuk tiga Satgas, pertama Satgas mafia tanah, kedua Satgas mafia pupuk dan ketiga satgas perekonomian.
"Saat ini tim Kejati Riau sudah masuk dalam pengawasan pengelolaan lahan dan hutan serta penetapan harga TBS, Kejati Riau akan melakukan penindakan terhadap korporasi perkebunan dan pabrik sawit yang bermain main dengan penetapan harga TBS," ujar Fauzi Marasabessy.
Ia menambahkan, dalam setiap pengawasan Kejaksaan menitikberatkan aspek administrasi, namun masih memandang lemah Pergub serta mendorong dilakukannya revisi Permentan nomor 1 tahun 2018 tersebut, tandasnya.
Di penghujung diskusi, JMSI Riau menyerahkan Piagam Penghargaan kepada keempat narasumber sebagai ungkapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya.(har)
Sumber Berita : https://www.riaueditor.com/detail/Lingkungan/problematika-petani-sawit---039-meruak--039--dalam-diskusi-publik-yang-ditaja-jmsi-riau
Topik:
BootstrapBagikan: